Kamis, 04 Juni 2020

Teks ulasan novel Tuhan izinkan aku menjadi pelacur


Jadi kali ini saya akan membuat teks ulasan dari novel yang berjudul “Tuhan izinkan aku menjadi pelacur” karya Muhidin M. Dahlan guna memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia.

Jadi baru-baru aja juga saya baca novel ini, karena direkomendasikan oleh doi. Awalnya agak sensitif sama judulnya, tapi setelah saya masuk bab per bab sungguh apik ceritanya.
Dari judulnya saja novel dari Muhidin M. Dahlan ini sudah sangat kontroversial, novel yang terbit pada tahun 2003 dengan jumlah halaman 269 ini merupakan kisah nyata, sebagaimana pengakuan dari si penulis pada surat untuk pembaca pada akhir halaman  dengan menyatakan “Buku ini merupakan fiksi dengan bahan baku sepenuhnya diambil dari kisah nyata dan wawancara mendalam beberapa minggu.”

Jadi, novel ini menceritkan tentang mahasiswi baru sekaligus seorang muslimah yang bernama Nidah Kirani, yang sedang menempuh pendidikan disalah satu universitas negeri di Yogyakarta. Lewat kawan satu pesantrennya di pondok Ki Ageng, Nidah Kirani mulai mengikuti sebuah pengajian di masjid tarbiah yang membahas soal keislaman.

Nidah Kirani adalah seorang muslimah yang taat. Tubuhnya dihijabi oleh jubah dan hijab besar. Hampir semua waktunya dihabiskan untuk salat, baca Al-Qur’an, dan berzikir. Dia memilih hidup yang sufistik. Demi laku kezuhudan itu dia kerap hanya mengonsumsi roti dalam jumlah sangat terbatas di sebuah pesantren mahasiswa. Cita-citanya hanya satu : untuk menjadi muslimah yang beragama secara total.
Tapi, di tengah proses itu ia kerap diterpa badai kekecewaan. Organisasi garis keras yang mengusung cita-cita tegaknya syariat islam di Indonesia yang diidealkannya bisa mengantarkannya beragama secara total-penuh, ternyata malah merampas nalar kritis sekaligus imannya. Setiap tanya yang diajukannya dijawab dengan dogma tertutup yang melahirkan resah dan kehampaan.
Dalam keadaan kosong itulah ia tertusuk dalam dunia hitam. Kiran melampiaskan frustasinya dengan seks bebas dan mengonsumsi obat-obatan terlarang ditengah amukan perasaan kekecewaan terhadap organisasi, agama dan tuhannya.
 “Aku hanya ingin Tuhan melihatku. Lihat aku Tuhan! Akan kutuntaskan pemberontakanku padamu” katanya setiap kali selesai bercinta yang dilakukannya tanpa ada rasa sesal sedikitpun.
Dan tersingkap pula topeng-topeng kemunafikan dari para aktivis yang meniduri dan ditidurinya. Bahkan, dari petualangannya tersebut dia berjumpa dengan seorang anggota DPRD dari partai islam dan sekaligus dosen dikampus islam yang menyediakan diri menjadi germonya.

 Jadi itu sedikit gambaran dari novel Tuhan izinkan aku menjadi pelacur Buku ini menggambarkan bagaimana seorang awam menjadi fanatik dalam beragama. Menurut saya sendiri bagian yang paling menarik dari novel ini adalah ketika bagaimana perasaan seorang Kiran yang bercampur aduk akibat doktrin-doktrin agama.

Walaupun novel ini sedikit menguras emosi saya, tapi saya merekomendasikan untuk kalian yang belom pernah membaca novel ini. Menurut saya novel ini layak dibaca, kususnya teruntuk mahasiswa baru yang sedang mencari jati dirinya. Novel ini juga dikemas dengan bahasa yang tidak berbelit-belit sehingga mudah dipahami oleh si pembaca. Sekali lagi saya menjelaskan bahwa jangan terkejut dengan judulnya, buku ini sangat bagus dan isinya bukan seperti yang ada dalam bayangan kalian.



Yang belom baca silahkan dibaca ya, ambil yang positifnya aja, dan jadikan yang negatif jadi pelajaran buat kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Dan mohon maaf jika ada salah kata dalam penulisan ini. Trimakasih.

Rabu, 13 Mei 2020

Opini mengenai 3 teks Bahasa Indonesia

Tanggapan saya mengenai 3 teks Opini Bahasa Indonesia

Ayu Jumimbar (E3119025)

Teks 1 “genangan”
Didalam teks yang berjudul “genangan” tersebut sebenarnya sudah dijelaskan apa arti genangan dan arti  banjir yang sesungguhnya. Mungkin terkadang masih ada bebera masyarakat yang belum mengerti akan perbedaan dari kata banji dan  genangan itu sendiri, sehingga yang masyarakat tau genangan dan banjir itu adalah sama, sama-sama air yang meluap.


Teks 2 “Maksud dan Niat”
Didalam teks yang berjudul “Maksud & Niat” ini kedua kata memiliki makna yang sama, kedua kata ini dapat saling menggantikan pada kalimat yang sama. Contohnya seperti : saya tidak ada niat/maksud untuk melakukan itu. Namun tidak setiap kalimat bisa saling menggantikan antara dua kata tersebut, ada juga pemakaian kata niat yang tidak tergantikan dengan maksud, begitupun sebaliknya. Contohnya : jelaskan maksud yang terkandung di dalam ayat tersebut. Ada konteks tertentu yang memungkinkan kedua kata itu saling menggantikan, tetapi ada juga konteks lain yang merupakan kekhasan masing-masing. Jadi tidak setiap saat dua kata tersebut saling mengagntikan, tergantung dengan tujuan / konteks kalimat.


Teks 3 “Kata-Kata yang Memuai”
Didalam teks yang ketiga ini yang brjudul “Kata-Kata yang Memuai”. Dalam teks ini memiliki pemahaman makna yang berbeda, sehingga ketika orang mengucapkan sebuah kalimat tertentu orang lain akan salah mengartikan berbeda dengan pemahamannya. Seperti contohnya : Seorang teman dari Korea Selatan masygul ketika mendengar seorang Indonesia berseru, “Wah, mau hujan,” pada sebuah sore yang mendung. “Wow, bagaimana caranya?” ia pun bertanya. Ia menyangka, teman orang Indonesia itu sedang menginginkan hujan atau berminat pada hujan seperti minatnya mengunyah es krim. Dialog keduanya kemudian tidak bersangkut paut hingga satu orang Indonesia lain melerai dan menjelaskan maksud seruan itu. “Mau hujan” tidak berarti “I want to rain” seperti dalam bahasa Indonesia kendati kata “mau” dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan “want” dalam kamus Indonesia-Inggris. “Mau hujan” dalam kalimat itu memiliki arti “akan hujan”, yang padanannya persis sama dengan bentukan dalam bahasa Inggris “It will rain”. Kejadian ini wajar ketika orang asing berbincang dengan orang Indonesia. Karena orang asing mengetahui Bahasa Indonesia hanya dalam bentuk baku, padahal pada nyatanya Bahasa Indonesia itu beragam, hal ini yang terkadang membuat orang asin